Stasiun Pasar Senen, Jakarta, 28 Januari 1981
“Aku ngantuk sekali,
Win. Jam keberangkatanku masih selepas sholat Subuh nanti pula,” Iswari
berkali-kali menguap sambil memeluk tasnya. Sesekali mengusap matanya yang
berair dengan kerudungnya.
“Aku kan bilang tadi,
Is. Kamu ini kepagian, wong kamu
ngeyel. Ya aku cuma anter aja, udah gitu, aku ini biasa bergadang.” Winarto
tertawa kecil, menatap sepinya Stasiun Pasar Senen yang terlihat semakin lucu,
karena sejak 2 hari lalu, Iswari atau Iis, panggilan akrabnya, terus
mengingatkan Winarto untuk berangkat lebih awal, jika ingin menemani
keberangkatannya ke Yogyakarta.
Sekarang pukul 3.30
dini hari, dan karcis Kereta Api Progo yang akan mengantarnya ke stasiun Lempuyangan,
Yogyakarta sudah dalam genggaman tangan Iswari.. Ah karcis kereta itu lebih beruntung daripada telapak tanganku, pikir
Winarto dalam hatinya.
“Is, lapar nggak? Di
dekat sini banyak jajanan kue. Sekalian kamu beli buat di perjalanan, nanti
kelaparan lho,”
Ternyata jalanan di
luar tidak sesepi di dalam stasiun, banyak interaksi jual-beli di sana.
Terdengar pula seorang ibu membeli 200 potong kue cucur, 300 lemper, dan 200
aneka kue lapis. Iis dan Winarto menyusuri jalan dengan hening. Terlihat
keduanya menikmati keheningan itu, di dalam hati, mereka berharap supaya
matahari tidak segera datang.
“Is, kamu tahu nggak? Di
sini tuh asal muasal inspirasi seniman Indonesia lho. Chairil Anwar dulu kalau
nulis di sini. Terus Usmar Ismail, Wim Umboh, mereka pada di sini. Senimannya
Senen,” Ujar Winarto dengan antusias.
“Kok kamu tahu aja,
Win? Memang dari kecil sudah main di sini?” Iswari tertawa kecil. Winarto
memang seperti sumber pengetahuannya, ia memiliki banyak wawasan, terutama
tentang pengetahuan pariwisata, “Kue cucurnya 3 ya, bu,”
“Lha kamu masa
penggemarnya Chairil Anwar nggak tau sih..”
“Sayangnya, di bukunya
dia nggak bilang kalau suka ke sini, nggak bilang juga sukanya kue cucur atau
wajik. Apa aku yang kurang bacanya ya?” Iis tertawa, tertawa semakin dalam,
rasa kantuknya sedikit demi sedikit terbunuh.
“Kamu ini belajar agama
jauh banget sih, Is. Memangnya di Jakarta nggak bisa? Sanak saudara, teman,
orangtua kan di Jakarta.” Winarto nyinyir, ia memang selalu mempertanyakan hal
tersebut, mengapa Iis tiba-tiba dua tahun lalu memutuskan untuk belajar agama
di Yogyakarta, Iis pun sempat berkelana ke Ujung Pandang, Makassar.
Iis tersenyum. Lalu
kembali menyusuri jalan, melihat-lihat kue, sesekali membeli, lalu membeli
lagi. Winarto tetap mengikutinya, menerka misteri apa yang bersembunyi di balik
senyuman Iis, sembari berharap, matahari tak kunjung datang. Hingga Iis
berhenti pada tukang koran.
“Aku mau beli koran, buat
baca-baca di kereta nanti,” Iis mengambil empat koran berbeda.
“Loh, kok jadi suka
baca politik gitu? Satu tahun nggak ketemu kamu, perubahannya signifikan juga
ya,”
“Di koran kan nggak
semuanya politik, Win. Banyak pantun-pantun lucu, ada puisi, cerita pendek,
atau iklan pil biru mungkin, hehehe,”
Senyuman itu, senyuman yang hanya bisa aku nikmati setahun sekali. Tiap
tahun aku berharap supaya dapat melihat senyumanmu di tahun berikutnya. Mungkin
akan terus seperti itu, jika kamu memutuskan untuk tinggal di sana. Winarto
bergumam, jam tangannya menunjukan pukul 4.25. Satu jam lagi Iis akan berangkat
ke Yogyakarta. Baru kali ini Winarto gusar akan kedatangannya matahari.
“Win, kamu kalau mau ke
Yogyakarta, kirim surat dulu ke aku. Nanti kita jalan-jalan, di Yogyakarta
banyak makanan enak lho,” ujar Iis kepada Winarto yang sedang bergumam.
“Kamu juga mampir ke
Padang. Banyak juga makanan enak di Padang, tahun ini aku tiga bulan tugas di
Padang,” kata Winarto mantap.
“Tapi masakan Padang
itu kan berjejer di Jakarta, Win,”
“Memangnya kamu nggak
tertarik, makan makanan Padang di Padang?”
“Lho apa bedanya? Di
sini juga yang masak biasanya uda-uda Padang,”
“Ya, coba kamu makan
kerak telor di Yogyakarta, pasti beda, otentisitasnya beda, Is,”
Mereka tenggelam dalam pembicaraan
yang berputar dari satu pembicaraan lain, ke pembicaraan lainnya. Begitu terus,
sesekali terdiam, lalu berbicara lagi, terus berbicara, terus bertukar pikiran,
sampai pada akhirnya, waktu memang tidak bisa berkompromi.
“Win, aku sholat Subuh
dulu. Kamu di sini kan? Aku titip tas ya,” Iis berlalu ke musholla terdekat,
menjalankan urusannya dengan Tuhan.
Winarto terjebak dalam
keheningan. Keheningan yang membuatnya kacau. Tujuh tahun hidup dalam perasaan
yang sama, perasaan yang ia kunci rapat-rapat, perasaan yang tidak pernah
sekali pun ia ungkit dalam hidupnya.
Sepuluh, lima belas
menit berlalu. Iswari datang menghampirinya, tanpa duduk, ia mengangkat tasnya,
“Win, aku berangkat sekarang ya. Keretaku udah ada, makasih lho udah mau aku
repotin pagi buta kayak gini.”
“Iya, Is. Lain kali
jangan pagi buta ya hehehe,”
“Jadinya nggak ikhlas
nih? Eh beneran lho, kamu harus ke Yogyakarta, nanti aku traktir deh,”
Winarto mengangguk.
Iswari berjalan sambil melambaikan tangan, masuk ke dalam kereta, dan Winarto
membalikkan tubuhnya. Sambil berharap, senyuman itu masih menjadi milik Winarto
di tahun berikutnya. Dan akan berharap sama, pada tahun berikutnya. Dan akan
begitu terus, barangkali.
~ Dah, kelar ceritanya ~
P.S: Ini belum direvisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar