Senja menyambutku dikala kelam penghunjung hariku
"Mengapa matahari tidak menyambutmu hari ini?"
Ia bertanya.
Senja memang seorang pemerhati
Kepekaan yang dimilikinya, melebihi kepekaan bintik kuning pada retina matamu
"Ia bahkan tidak menampakan dirinya, ia bersembunyi di balik awan kelabu."
Aku menjawab.
"Dan ada apa dengan kediamanmu?"
Ia bertanya lagi.
Aku bungkam
Ingin rasanya menjadi matahari, yang dapat bersembunyi di balik awan kelabu
"Hatimu enggan merasa. Bibirmu enggan bercerita. Ada apa?"
Pergilah kau, Senja
Rasanya waktu terhenti pada saat itu, rasanya waktu membeku, rasanya teori relativitas itu tidak pernah ada
Senja tak kunjung pergi. Seakan semuanya memang membeku
Senja mulai bersenandung
"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya"
Gelap. Semuanya terasa sangat gelap
Tanganku menggenggam erat angin
Seperti dirantai untuk tidak menutup telingaku
Telapak kakiku seperti tertanam di dalam tanah ini
Terlalu berat untuk berlari
"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya"
Senandung itu terus-menerus dinyanyikannya
Rasanya ingin aku menutup mulutnya
Merobek pita suaranya
Namun, Senja terlalu tinggi, tidak bisa aku menggapainya
Beruntunglah kau, Senja
"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya"
Senandung itu
Senandung yang hanya diperuntukkan kepada mereka yang hidup dalam kegelapan
Kepada mereka yang menyembunyikan air matanya
Kepada mereka yang hatinya tersayat
Kepada mereka yang sekujur tubuhnya dirantai oleh realita
Kepada mereka yang berpeluh penderitaan
Kepadaku
Air mataku berderai dengan sempurna
Telapak tanganku menyapunya
Namun terus berderai
Berderai hingga jeritan-jeritan hati keluar melalui bibirku
Ia tetap bersenandung
Semakin kecil suaranya
"Keluarkanlah air matamu, biarkan bibirmu bersenandung dengan sendirinya, jangan biarkan aku bersenandung untukmu."
Katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar