Selasa, 21 Juli 2015

SHORT STORY BASED ON A SONG (Payung Teduh - Mari Bercerita)

Stasiun Pasar Senen, Jakarta, 28 Januari 1981

            “Aku ngantuk sekali, Win. Jam keberangkatanku masih selepas sholat Subuh nanti pula,” Iswari berkali-kali menguap sambil memeluk tasnya. Sesekali mengusap matanya yang berair dengan kerudungnya.
            “Aku kan bilang tadi, Is. Kamu ini kepagian, wong kamu ngeyel. Ya aku cuma anter aja, udah gitu, aku ini biasa bergadang.” Winarto tertawa kecil, menatap sepinya Stasiun Pasar Senen yang terlihat semakin lucu, karena sejak 2 hari lalu, Iswari atau Iis, panggilan akrabnya, terus mengingatkan Winarto untuk berangkat lebih awal, jika ingin menemani keberangkatannya ke Yogyakarta.
            Sekarang pukul 3.30 dini hari, dan karcis Kereta Api Progo yang akan mengantarnya ke stasiun Lempuyangan, Yogyakarta sudah dalam genggaman tangan Iswari.. Ah karcis kereta itu lebih beruntung daripada telapak tanganku, pikir Winarto dalam hatinya.
            “Is, lapar nggak? Di dekat sini banyak jajanan kue. Sekalian kamu beli buat di perjalanan, nanti kelaparan lho,”
            Ternyata jalanan di luar tidak sesepi di dalam stasiun, banyak interaksi jual-beli di sana. Terdengar pula seorang ibu membeli 200 potong kue cucur, 300 lemper, dan 200 aneka kue lapis. Iis dan Winarto menyusuri jalan dengan hening. Terlihat keduanya menikmati keheningan itu, di dalam hati, mereka berharap supaya matahari tidak segera datang.
            “Is, kamu tahu nggak? Di sini tuh asal muasal inspirasi seniman Indonesia lho. Chairil Anwar dulu kalau nulis di sini. Terus Usmar Ismail, Wim Umboh, mereka pada di sini. Senimannya Senen,” Ujar Winarto dengan antusias.
            “Kok kamu tahu aja, Win? Memang dari kecil sudah main di sini?” Iswari tertawa kecil. Winarto memang seperti sumber pengetahuannya, ia memiliki banyak wawasan, terutama tentang pengetahuan pariwisata, “Kue cucurnya 3 ya, bu,”
            “Lha kamu masa penggemarnya Chairil Anwar nggak tau sih..”
            “Sayangnya, di bukunya dia nggak bilang kalau suka ke sini, nggak bilang juga sukanya kue cucur atau wajik. Apa aku yang kurang bacanya ya?” Iis tertawa, tertawa semakin dalam, rasa kantuknya sedikit demi sedikit terbunuh.
            “Kamu ini belajar agama jauh banget sih, Is. Memangnya di Jakarta nggak bisa? Sanak saudara, teman, orangtua kan di Jakarta.” Winarto nyinyir, ia memang selalu mempertanyakan hal tersebut, mengapa Iis tiba-tiba dua tahun lalu memutuskan untuk belajar agama di Yogyakarta, Iis pun sempat berkelana ke Ujung Pandang, Makassar.
            Iis tersenyum. Lalu kembali menyusuri jalan, melihat-lihat kue, sesekali membeli, lalu membeli lagi. Winarto tetap mengikutinya, menerka misteri apa yang bersembunyi di balik senyuman Iis, sembari berharap, matahari tak kunjung datang. Hingga Iis berhenti pada tukang koran.
            “Aku mau beli koran, buat baca-baca di kereta nanti,” Iis mengambil empat koran berbeda.
            “Loh, kok jadi suka baca politik gitu? Satu tahun nggak ketemu kamu, perubahannya signifikan juga ya,”
            “Di koran kan nggak semuanya politik, Win. Banyak pantun-pantun lucu, ada puisi, cerita pendek, atau iklan pil biru mungkin, hehehe,”
            Senyuman itu, senyuman yang hanya bisa aku nikmati setahun sekali. Tiap tahun aku berharap supaya dapat melihat senyumanmu di tahun berikutnya. Mungkin akan terus seperti itu, jika kamu memutuskan untuk tinggal di sana. Winarto bergumam, jam tangannya menunjukan pukul 4.25. Satu jam lagi Iis akan berangkat ke Yogyakarta. Baru kali ini Winarto gusar akan kedatangannya matahari.
            “Win, kamu kalau mau ke Yogyakarta, kirim surat dulu ke aku. Nanti kita jalan-jalan, di Yogyakarta banyak makanan enak lho,” ujar Iis kepada Winarto yang sedang bergumam.
            “Kamu juga mampir ke Padang. Banyak juga makanan enak di Padang, tahun ini aku tiga bulan tugas di Padang,” kata Winarto mantap.
            “Tapi masakan Padang itu kan berjejer di Jakarta, Win,”
            “Memangnya kamu nggak tertarik, makan makanan Padang di Padang?”
            “Lho apa bedanya? Di sini juga yang masak biasanya uda-uda Padang,”
            “Ya, coba kamu makan kerak telor di Yogyakarta, pasti beda, otentisitasnya beda, Is,”
            Mereka tenggelam dalam pembicaraan yang berputar dari satu pembicaraan lain, ke pembicaraan lainnya. Begitu terus, sesekali terdiam, lalu berbicara lagi, terus berbicara, terus bertukar pikiran, sampai pada akhirnya, waktu memang tidak bisa berkompromi.
            “Win, aku sholat Subuh dulu. Kamu di sini kan? Aku titip tas ya,” Iis berlalu ke musholla terdekat, menjalankan urusannya dengan Tuhan.
            Winarto terjebak dalam keheningan. Keheningan yang membuatnya kacau. Tujuh tahun hidup dalam perasaan yang sama, perasaan yang ia kunci rapat-rapat, perasaan yang tidak pernah sekali pun ia ungkit dalam hidupnya.
            Sepuluh, lima belas menit berlalu. Iswari datang menghampirinya, tanpa duduk, ia mengangkat tasnya, “Win, aku berangkat sekarang ya. Keretaku udah ada, makasih lho udah mau aku repotin pagi buta kayak gini.”
            “Iya, Is. Lain kali jangan pagi buta ya hehehe,”
            “Jadinya nggak ikhlas nih? Eh beneran lho, kamu harus ke Yogyakarta, nanti aku traktir deh,”
            Winarto mengangguk. Iswari berjalan sambil melambaikan tangan, masuk ke dalam kereta, dan Winarto membalikkan tubuhnya. Sambil berharap, senyuman itu masih menjadi milik Winarto di tahun berikutnya. Dan akan berharap sama, pada tahun berikutnya. Dan akan begitu terus, barangkali.

~ Dah, kelar ceritanya ~

P.S: Ini belum direvisi. 

Rabu, 08 Juli 2015

Senandung Senja

Senja menyambutku dikala kelam penghunjung hariku 
"Mengapa matahari tidak menyambutmu hari ini?" 
Ia bertanya. 

Senja memang seorang pemerhati 
Kepekaan yang dimilikinya, melebihi kepekaan bintik kuning pada retina matamu

"Ia bahkan tidak menampakan dirinya, ia bersembunyi di balik awan kelabu." 
Aku menjawab. 
"Dan ada apa dengan kediamanmu?" 
Ia bertanya lagi. 

Aku bungkam
Ingin rasanya menjadi matahari, yang dapat bersembunyi di balik awan kelabu
"Hatimu enggan merasa. Bibirmu enggan bercerita. Ada apa?" 

Pergilah kau, Senja
Rasanya waktu terhenti pada saat itu, rasanya waktu membeku, rasanya teori relativitas itu tidak pernah ada
Senja tak kunjung pergi. Seakan semuanya memang membeku

Senja mulai bersenandung
"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya" 
Gelap. Semuanya terasa sangat gelap 
Tanganku menggenggam erat angin 
Seperti dirantai untuk tidak menutup telingaku
Telapak kakiku seperti tertanam di dalam tanah ini 
Terlalu berat untuk berlari

"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya" 
Senandung itu terus-menerus dinyanyikannya
Rasanya ingin aku menutup mulutnya
Merobek pita suaranya 
Namun, Senja terlalu tinggi, tidak bisa aku menggapainya
Beruntunglah kau, Senja

"Keluarlah air mata, basahi pipinya, dan abadikan dirimu dalam sela-sela jarinya" 
Senandung itu 
Senandung yang hanya diperuntukkan kepada mereka yang hidup dalam kegelapan
Kepada mereka yang menyembunyikan air matanya
Kepada mereka yang hatinya tersayat 
Kepada mereka yang sekujur tubuhnya dirantai oleh realita 
Kepada mereka yang berpeluh penderitaan 
Kepadaku 

Air mataku berderai dengan sempurna
Telapak tanganku menyapunya
Namun terus berderai
Berderai hingga jeritan-jeritan hati keluar melalui bibirku 

Ia tetap bersenandung
Semakin kecil suaranya
"Keluarkanlah air matamu, biarkan bibirmu bersenandung dengan sendirinya, jangan biarkan aku bersenandung untukmu." 
Katanya. 

Comments system

Disqus Shortname